Sumber: kemenperin.go.id Kementerian Perindustrian telah menerbitkan peraturan mengenai SNI wajib bagi produk air minuman dalam kemasan (AMDK). Hal ini sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Mineral Alami, Dan Air Minum Embun Secara Wajib. “Jadi, produk AMDK yang beredar di pasar telah sesuai dengan standar mutu yang berlaku wajib dan mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” kata Dirjen Industri Agro Panggah Susanto di Jakarta, Sabtu (17/3). Menurut Panggah, penyusunan SNI untuk produk AMDK dilakukan oleh Komite Teknis yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, meliputi pihak pemerintah, akademisi atau ahli termasuk di bidang keamanan pangan, masyarakat, hingga produsen. Bahkan, pengawasan produk AMDK di dalam negeri telah dilakukan secara berkala, baik selama di lokasi produksi maupun di pasar oleh instansi terkait, yang meliputi pengawasan air baku, proses produksi, produk akhir sampai dengan kemasan produk. “Total terdapat 44 parameter persyaratan air bersih yang digunakan sebagai bahan baku AMDK, yaitu fisika (6 parameter), kimia (17 parameter), kimia organik (18 parameter), mikrobiologik (1 Parameter) dan radio aktivitas (2 parameter),” paparnya. Selain itu, telah ditetapkan syarat mutu pada produk AMDK, di antaranya SNI 3553:2015 Air Mineral telah menetapkan 27 Kriteria Uji sebagai syarat mutu air mineral, SNI 6241:2015 Air Demineral telah menetapkan 13 Kriteria Uji sebagai syarat mutu air demineral. Kemudian, SNI 6242:2015 Air Mineral Alami telah menetapkan 11 Kriteria Uji sebagai syarat mutu air mineral alami, dan SNI 7812:2013 Air Minum Embun telah menetapkan 29 Kriteria Uji sebagai syarat mutu air minum embun. Lebih lanjut, dalam penyusunan standar tersebut telah menggunakan beberapa referensi internasional, antara lain seperti Codex Alimentarius Committee, WHO, dan lainnya yang umum digunakan dalam penyusunan standar keamanan pangan di berbagai negara. Bahkan, pengujian kesesuaian mutu AMDK dilakukan oleh laboratorium penguji yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). “Selain itu, penilaian kesesuaian SNI untuk produksi AMDK dilakukan audit terhadap penerapan Good Manufacturing Practices atau Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (GMP/CPPOB),” imbuhnya. Adanya temuan terkait cemaran mikroplastik pada produk AMDK, Kemenperin mengusulkan perlu adanya kajian lebih lanjut. Kajian ini dilakukan melalui metode uji yang berstandar untuk mengetahui tingkatan maksimum dan dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. “Saat ini, belum ada dokumen standar mutu, metode uji, tingkatan maksimum kandungan mikroplastik pada produk makanan dan minuman khususnya AMDK, serta belum ada kajian mendalam dampak kandungan mikroplastik pada tubuh di tingkat global yang umum dijadikan referensi,” ungkapnya. Selama ini, Kemenperin terus mendorong pertumbuhan dan daya saing industri AMDK nasional, termasuk dalam upaya meningkatkan kualitas produknya agar mampu memenuhi kebutuhan pasar di domestik dan eskpor. Saat ini, industri AMDK di dalam negeri berjumlah sekitar 700 perusahaan yang sebagian besar merupakan sektor industri kecil dan menengah (IKM). Secara volume, konsumsi AMDK menyumbang sekitar 85 persen dari total konsumsi minuman ringan di Indonesia. Sementara itu, laju pertumbuhan industri makanan dan minuman pada pada tahun 2017 mencapai 9,23 persen, jauh diatas pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,07 persen.Peran subsektor industri makanan dan minuman terhadap PDB sebesar 6,14 persen dan terhadap PDB industri nonmigas mencapai 34,3 persen, sehingga menjadikannya subsektor dengan kontribusi terbesar dibandingkan subsektor lainnya pada periode yang sama. Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.
0 Comments
Sumber: pom.go.id PENJELASAN BPOM RI TENTANG ISU KANDUNGAN MIKROPLASTIK PADA AIR MINUM DALAM KEMASAN Sehubungan merebaknya isu kandungan mikroplastik pada air minum dalam kemasan, BPOM memandang perlu untuk memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sumber: pom.go.id PENJELASAN BPOM RI TENTANG ISU BAHAYA AIR KEMASAN YANG DITINGGAL DI DALAM MOBIL ehubungan dengan informasi di media sosial mengenai “Air Kemasan Yang Ditinggal Di Dalam Mobil Anda Sangat Berbahaya!”, BPOM RI memandang perlu memberikan penjelasan sebagai berikut:
Masyarakat dihimbau untuk tidak mudah terprovokasi dan tidak menyebarluaskan berita/isu terkait makanan dan kemasan pangan yang tidak terbukti kebenarannya. Apabila menemukan produk yang mencurigakan, masyarakat dapat menghubungi Contact Center HALO BPOM 1-500-533 (pulsa lokal), SMS 0812-1-9999-533, e-mail: halobpom@pom.go.id, atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2018- Menanggapi adanya berita mengenai penelitan Orb Media, konsorsium jurnalis yang berbasis di Washington, Amerika, yang menemukan partikel mikroplastik dalam air minum dalam kemasan (AMDK), Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) menegaskan bahwa Kesehatan dan keselamatan konsumen merupakan prioritas utama produsen AMDK.
“Semua produk anggota ASPADIN wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan ketentuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait keamanan dan mutu pangan,” ujar Rachmat Hidayat, Ketua ASPADIN. Rachmat lebih lanjut menjelaskan bahwa seluruh anggota ASPADIN mendapatkan pengawasan oleh Lembaga yang berwenang dilakukan secara berkala untuk memastikan pemenuhan produk terhadap ketentuan SNI dan BPOM, dimulai dari air sumber, kemasan, proses produksi sampai dengan produk akhir. “Sebagai bagian dari produk, pengawasan mutu juga dilakukan terhadap kemasan, mengacu pada peraturan BPOM tentang pengawasan kemasan pangan, “ tambah Rachmat. Menurut Rachmat, saat ini, mikroplastik menjadi topik yang berkembang dan dibahas dalam berbagai konteks yang berbeda. Secara lokal maupun global, belum ada kerangka peraturan, metodologi baku untuk pengujian mikroplastik dalam produk pangan, maupun penelitian yang memadai dan konsensus ilmiah tentang potensi dampak partikel mikroplastik terhadap kesehatan. “Kami akan terus mengikuti perkembangan terkait dengan isu mikroplastik ini,” ujar Rachmat Kontak Media: Rachmat Hidayat (Ketua ASPADIN) email: sekretariat@aspadin.com Press Release: Disharmoni Kebijakan Perdagangan dan Kebijakan Industri: Faktor Pendorong IndustrialisasiSumber: http://www.coreindonesia.org/ Dalam beberapa pekan terakhir, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan perdagangan yang banyak menyedot perhatian publik. Selain kebijakan impor beras 500 ribu ton yang banyak menuai kontroversi, ada beberapa kebijakan perdagangan lainnya yang tidak kalah krusial. Khususnya, kebijakan perdagangan yang tidak sejalan dengan penguatan daya saing industri manufaktur. CORE memandang sangat penting untuk menyampaikan permasalahan ini dan menyarankan agar pemerintah semakin berhati-hati untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tersebut karena berpotensi semakin memperlemah daya saing industri domestik dan mempercepat proses deindustrialiasi. Padahal, penyebab utama dari dua masalah ekonomi serius yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, yakni kurangnya akselerasi pertumbuhan ekonomi yang masih tertahan di level 5 persen dalam tiga tahun terakhir, serta lemahnya kinerja ekspor dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN sebagaimana yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo, adalah lemahnya daya saing industri manufaktur. Di antara kebijakan tersebut adalah kemudahan akses bagi produk-produk impor untuk masuk ke pasar domestik. Pertama, target pengurangan barang impor yang masuk kategori larangan dan pembatasan (lartas) dari 49% hingga di bawah 18% pada Februari 2018.Kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan lebih hati-hati. Memang dibutuhkan terobosan untuk meningkatkan efisiensi logistik perdagangan termasuk barang impor,[1] namun upaya tersebut harus selaras dengan upaya penguatan industri dalam negeri. Seperti diketahui, kebijakan lartas tidak hanya berkaitan dengan perlindungan konsumen seperti aspek kesehatan dan keamanan, namun juga menjadi salah satu bentuk kebijakan non-tarif untuk melindungi industri domestik. Kalaupun diterapkan, pelonggaran lartas tersebut semestinya hanya berlaku barang baku impor yang memang dibutuhkan oleh industri domestik, dan tidak mencakup seluruh barang khususnya barang jadi yang telah mampu dipenuhi oleh produsen domestik. Apalagi penerapan lartas selain pada produk pangan, banyak diterapkan pada barang-barang industri yang menjadi andalan Indonesia khususnya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), industri baja, batik, dan elektronika. Padahal industri-industri tersebut saat ini justru membutuhkan suntikan kebijakan agar memiliki daya saing yang lebih baik. |
© 2020 / WSL |
ASPADIN
Grand Slipi Tower Lt. 42-GH Jl. Letjen S. Parman, Palmerah, Jakarta Barat DKI Jakarta 11480 (+62 811 928 7508) dpp.aspadin@gmail.com / sekretariat@aspadin.com |